Monday, March 14, 2005

Guruku jendelaku

Masih teringat samar-samar olehku bagaimana aku dididik oleh para guruku.
Mereka mengajarkanku bagaimana untuk melihat kehidupan ini dengan kerangka yang berbeda-beda.

Sewaktu masih lucu postur tubuhku, ibu Ati bagaikan Ibu Kartiniku. Ia seperti induk ayam yang membimbing kami anak-anak muridnya agar selalu berbaris rapi. Terkadang aku takut kepadanya jika ditunjuk untuk memimpin doa saat sarapan tiba. Ia sosok wanita tegas pertama yang aku kenal dalam masa taman kanak-kanakku. Ketegasan yang dibangun dengan ancaman pikirku, disiplin menurut mereka.

Menginjak Sekolah Dasar, Ibu Yati menjadi faforitku. Walaupun hitam ia tetap terlihat manis. Mungkin karena selalu tersenyum maka ia selalu menenangkan hatiku. Darinya aku mewarisi sifat untuk mudah tersenyum. Kehidupan akan jauh menjadi lebih indah dan damai bila lebih banyak senyuman, bukan?

Ketika mengenyam pendidikan tingkat pertama aku masuk dalam sekolah yang bernuansa islami. Disini para wanitanya memakai kerudung sehingga sulit membedakan satu dengan lainnya. Pak Agus tampil sebagai tokoh guru yang ditakuti. Dengannya pelajaran bahasa Indonesia bisa sesulit pelajaran fisika. Kugelari ia sebagai sipil yang militer. Mencubit sudah menjadi senjata pamungkasnya bila kita tidak lekas pandai.

Memasuki SMA variasi guruku lebih kaya. Namun pada dasarnya tetaplah sama. Guru yang baik dan guru yang menggojlok emosi. Hukuman yang diterima pun sudah meningkat, tidak lagi fisik melainkan juga mental. Paradoks kehidupan sering aku jumpai di masa ini. Bagaimana kita tertawa ketika melihat teman yang dihukum. Sepertinya siksaan seseorang menjadi hiburan tersendiri bagi yang lain.

Ibu Elizabeth merupakan aktivis wanita yang paling rajin memeriksa rambut dan kuku para pria. Biasanya sebulan sekali pasti ada aksi gratis pemotongan rambut yang tidak bermode. Jauh sekali dari nilai seni dan estetika, protesku. Kebijakan sepele seperti ini kalau dihayati lebih dalam merupakan refleksi perilaku sosial yang perlu dibenahi. Intinya, maksud baik selalu pupus menjadi tujuan yang dipandang negatif. Tidak efektif istilah manajemennya.

Lulus SMA aku masih merasa kosong, tidak mengerti kemana untuk mengarahkan jalan hidupku. Seakan12 tahun program pembelajaran yang dicanangkan pemerintah tidak berhasil memberikan dasar dalam merancang dan memaknai hidup.

Mungkin rasa kekhawatiran inilah yang kulihat dari raut muka guru-guruku ketika melepaskan kelulusan kami. Meriahnya suasana kelulusan melupakan kami untuk segera memikirkan langkah selanjutnya.

Adakah rasa berdosa yang menghantui mereka terhadap masa depan kami, masa depan bangsa dan negeri ini?

Aku bisa merasakan kekhawatiran itu….

Guru merupakan manusia yang berani memikul tanggung jawab besar atas evolusi kemanusiaan. Maju mundurnya suatu bangsa tidak terlepas dari kinerja dan pengorbanan mereka…..

Suatu saat nanti akan aku rangkum semua jerih payah kalian yang telah membentuk , mendidik dan mendewasakanku. Akan aku teruskan keprihatinan kalian untuk kemajuan masyarakat negeri ini…….

Terima kasihku untuk mu ya guru-guruku…..

Doakan aku untuk mengikuti pengorbananmu….

0 Comments:

Post a Comment

<< Home