Tuesday, March 08, 2005

Namaku Maju

Panggil aku maju. Aku orang biasa, sebiasa kepribadianku. Aku berasal dari keluarga yang biasa-biasa pula. Aku cukup bersyukur bisa banyak membaca dan bertemu dengan orang-orang yang menarik.

Mungkin ayahku ingin aku identik dengan kemajuan. Bisa kemajuan keluarga besarku, bisa juga bermakna untuk kemajuan zaman. Terlepas dari keinginan ayahku, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri saja.

Sering aku jumpai kemunduran dalam kemajuan. Seakan aku menjadi saksi bisu atas nasib ketidakberdayaan ketika menghadapi angkuhnya kesewenang-wenangan. Siapa sih orang waras yang bernyali untuk melawan kekuasaan dan kekuatan di negara paradoks ini pikirku?

Aku mulai mengumpulkan rupiah ketika aku dipercayakan untuk mengajar pada sebuah lembaga perguran tinggi swasta di kota metropolitan. Alangkah sedihnya hatiku melihat kondisi sistem pendidikan di Indonesia. Mungkin itu sebabnya bangsa ini seakan berjalan di tempat, sulit untuk maju.

Aku punya beberapa mahasiswa menonjol di kelasku. Sebut saja ia Parno. Anak ini sangat idealis entah buku apa saja yang sudah sukses dilalapnya. Setiap ada demonstrasi ia pasti akan berdiri dimuka untuk berorasi. Lucunya, teman-temannya sangat menyayanginya karena ia dikenal “saru”. Setiap bercerita selalu bernada seks dan tidak jauh dari dada dan selangkangan. Dasar anak muda, pikirku…

Ada juga yang borju, namanya Emas. Ia selalu sibuk mengintimidasiku dengan bermacam-macam hadiah. Tujuannya cuma satu dan tidak muluk-muluk yaitu beri dia nilai C. aku tahu si Emas adalah anak emas di keluarganya. Dan aku lihat ada potensi besar baginya untuk berkembang. Hanya saja ia sudah terbiasa hidup manja dan penuh dengan kemudahan sehingga ia tidak pernah mengenal arti pengorbanan dan kesengsaraan.

Mungkin aku kagum kepada mahasiswaku yang bernama Arif. Searif kepribadiannya ia selalu memukau dalam setiap gerak dan langkahnya. Tutur katanya selalu menyejukkan. Seakan ia produk remaja di masa rasulullah. Aku berharap dapat menjadi lebih arif pula terkadang.

Suatu ketika aku memperoleh sebuah kesempatan untuk mengajar di luar negeri. Kebetulan institusi di sana mengundangku sebagai dosen tamu yang akan mengupas kemajuan di Indonesia. Ibarat memakan buah simalakama tragisku. Membicarakan kemajuan Indonesia kepada bangsa asing bagaikan mendung tak berarti hujan. Butuh berklise dan pastinya aku akan terjebak pada perdebatan tajam ketika aku harus memperagakan “lingkaran setan”.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home